BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Peringkat Kinerja Operator
Peringkat kinerja operator adalah kegiatan evaluasi kecepatan atau tempo kerja operator pada saat pengukuran kerja berlangsung. Kecepatan usaha, tempo maupun performance kerja semuanya menunjukkan kecepatan gerakan operator pada saat bekerja. tujuan diterapkannya performance rating adalah untuk menunjukkan kemampuan kerja operator pada saat bekerja agar bisa ditentukan waktu normal pada suatu operasi kerja (Sritomo, 1995).
Peringkat kinerja operator adalah aktifitas untuk menilai dan mengevaluasi kecepatan operator. Tujuan dari performance rating adalah untuk menormalkan waktu kerja yang disebabkan oleh ketidakwajaran. pengukuran waktu kerja adalah usaha untuk menentukan lama kerja yang dibutuhkan seorang operator terlatih dan qualified dalam menyelesaikan suatu pekerjaan yang spesifik pada tingkat kecepatan kerja yang normal dalam lingkungan kerja yang terbaik pada saat itu, pada pengukuran waktu kerja ada dua jenis pengukuran, yaitu (Sutalaksana, 1979):
1. Pengukuran secara langsung yaitu dengan cara pengukuran Jam henti ( stop
watch Time Study ), dan work sampling, secara kelebihan yaitu praktis, mencatat waktu saja tanpa harus menggunakan pekerjaan kedalam elemen-elemen pekerjaannya, Secara kekurangannya yaitu, membutuhkan waktu lebih lama dan biaya lebih mahal.
2. Pengukuran secara tidak langsung yaitu data waktu baku (standar data),dan Data waktu gerakan, Secara kelebihan yaitu, waktu relatif singkat, tanpa mencatat elemen-elemen gerakan pekerja satu persatu, Biaya lebih murah, Prediterminded, kemampuan memprediksi suatu penyelesaian pekerjaan, secara kekurangan yaitu belum ada tabel data waktu gerakan yang menyeluruh, tabel yang digunkan adalah untuk orang eropa, dibutuhkan ketelitian yang tinggi.
Masukan untuk station kerja, ada beberapa sumber daya yang menjadi masukan bagi statsion kerja, yaitu waktu, energi operator, energi untuk mesin, kekuatan mental operator, keandalan mesin, pencahayaan, daya pikir operator, tata letak mesin dan peralatan lainnya (Nasrullah, 1996).
2.2. Pengukuran Waktu Jam Berhenti
Sesuai dengan namanya, maka pengukuran waktu ini menggunakan jam henti (stop watch) sebagai alat utamanya. cara ini tampaknya merupakan cara yang paling banyak dikenal, dan karena banyak dipakai. salah satu yang menyebabakan adalah kesederhanaan aturan-aturan pengajaran yang dipakai, beberapa aturan pengukuran yang perlu dijalankan untuk mendapatkan hasil yang baik. aturan-aturan tersebut dijelaskan dalam langkah-langkah berikut ini (Sutalaksana, 1979):
2.2.1 Langkah–langkah Sebelum Melakukan Pengukuran
Langkah-langkah Sebelum melakukan pengukuran untuk mendapatkan hasil yang baik, yaitu yang dapat dipertanggung jawabkan maka tidaklah cukup sekedar melakukan beberapa kali pengukuran dengan mengunakan jam henti. banyak faktor yang harus diperhatikan agar akhirnya dapat diperoleh waktu yang pantas untuk pekerjaan yang bersangkutan seperti yang berhubungan dengan kondisi kerja, cara pengkuran, jumlah pengukuran dan lain-lain, dibawah ini adalah sebagian langkah yang perlu diikuti agar maksud diatas dapat dicapai (Sutalaksana, 1979)
2.2.2 Penetapan Tujuan Pengukuran
Penepatan tujuan pengukuran sebagaimana halnya dengan berbagai kegiatan lain, tujuan melakukan kegiatan harus ditetapkan terlabih dahulu. Sebuah pengukuran waktu, hak-hak penting yang harus diketahui dan ditetapkan adalah untuk apa hasil pengukuran digunakan, beberapa tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan yang diinginkan dari hasil pengukuran tersebut, jika waktu baku yang akan diperoleh dimaksudkan untuk dipakai sebagai dasar upah perangsang, maka ketelitian dan keyakinan tentang hasil pengkuran harus tinggi karena menyangkut prestasi dan pendapatan buruh disamping keuntungan bagi perusahaan itu sendiri. Tetapi jika pengkuran dimaksudkan untuk memperkirakan secara kasar bilamana pemesan barang dapat kembali untuk mengambil pesanannya, maka tingkat ketelitian dan tingkat keyakinannya tidak seperlu sebesar yang sudah terjadi (Sutalaksana, 1979).
2.2.3. Melakukan Penelitian Pendahuluan
Melakukan penelitian pendahulu adalah suatu yang dicari-cari dari pengkuran waktu adalah waktu yang pantas diberikan kepada pekerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. tentu suatu kondisi yang dapat dicari waktu yang pantas tersebut, artinya akan didapat juga waktu yang pantas untuk menyelesaikan waktu yang bersangkutan. Suatu perusahaan biasanya menginginkan waktu kerja yang sesingkat-singkatnya agar dapat meraih keuntungan keuntungan yang sebesar-besarnya. keuntungan demikian tidak akan diperoleh jika kondisi kerja dari pekerjaan-pekerjaan yang ada diperusahaan tersebut tidak menunjang tercapainya hal yang sudah terjadi.
Bisa disimpulkan sebagai sebuah contoh, katakanlah ada suatu pekerjaan yang berada disebuah ruangan yang berjendela tidak cukup besar. keadaan ini bukan saja akan mengakibatkan pengapnya ruangan karena tidak lancarnya pertukaran udara, tetapi juga menyebabakan gelapnya disaat hari mendung. keadaan meja dimana pekerjaaan dilakukan, tidak baik, terlalu tinggi jika pekerja duduk dikursi, dan terlalu rendah jika pekerja berdiri. waktu penyelesaian yang pantas untuk kondisi demikian tentu bisa, tetapi dapat diduga bukanlah waktu yang sebaibaiknya, melainkan waktu yang lebih panjang dari yang seharusnya yang diperlukan. bagi pekerja kondisi demikian tidak selalu mengutungkan, antara lain menghambat dirinya berprestasi kerja disamping akibat-akibat jangka panjang seperti tehadap kesehatannnya.
Contoh ini dapat ditarik kesimpulan bahwa waktu kerja yang pantas hendaknya merupakan waktu kerja yang didapat dari kondisi kerja yang baik. Dengan lain perkataan, pengukuran waktu sebaiknya dilakukan bila kondisi kerja dari pekerjaan yang diukur sudah baik. jika belum maka kondisi yang ada hendaknya diperbaiki terlebih dahulu.
Hal yang sama dapat terjadi bila cara-cara keja yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum baik. untuk mendapatkan waktu penyelesaian yang singkat, maka perbaikan cara kerja perlu juga dilakukan. mempelajari kondisi kerja dan cara kerja kemudian memperbaikinya, adalah apa yang dilakukan dalam langkah penelitian pendahuluan. tentunya ini berlaku jika pengukuran dilakukan atas pekerjaan yang telah ada bukan pekerjaan yang baru. dalam keadaan yang seperti terakhir, maka yang harus dilakukan bukanlah memperbaiki melainkan merancang kondisi dan cara kerja yang baik yang baru sama sekali.
Dasar untuk memperbaiki kondisi, cara kerja yang diperlukan pengetahuan dan penerapan sistem kerja yang baik, prinsip-prinsip beserta keterangan-keterangannya telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, suatu hal lain harus dilakukan dalam rangka ini, yaitu membakukan secara tertulis sistem kerja yang dianggap baik. Disini semua kondisi dan cara kerja dicatat dan dicantumkan dengan jelas serta bila perlu dengan gambar-gambar misalnya untuk tata letak peralatan dan tempat. Pembakuan sistem kerja yang dipilih adalah suatu hal yang penting baik dilihat untuk keperluan sebelum, pada saat-saat, maupun sesudah pengukuran dilakukan dan waktu baku didapatkan.
Setiap kali, sebelum pengukuran dilakukan, operator yang dipilih untuk melakukan pekerjaan melakukan serangkaian latihan dengan sistem kerja yang baku. Ini terjadi bila operator tadi belum terbiasa dengan sistem tersebut. untuk ini baik sistem operator maupun pengukuran waktu melatih memerlukan suatu pegangan yang baku, begitu pula pada saat-saat pengukuran dilakukan, keduanya memerlukan pegangan agar sistem kerja yang dipilih itu tetap diselengggarakan, waktu yang akhirnya diperoleh setelah pengukuran selesai adalah waktu penyelesaian pekerjaan untuk sistem kerja yang dijalankan ketika pengukuran berlangsung. jadi waktu penyesuaiannya pun berlaku hanya untuk sistem tersebut.
suatu penyimpangan dari padanya dapat memberikan waktu penyelesaian yang jauh berbeda dari yang telah ditetapkan berdasarkan pengukuran. karena catatan yang baku tentang sistem kerja yang telah dipilih perlu ada dan dipelihara,walaupun pengukurannya telah selesai (Sutalaksana, 1979).
2.2.4. Memilih Opeator
Operator yang akan dilakukan pekerjaan yang diukur bukanlah orang yang begitu saja diambil dari pabrik. Orang ini harus memenuhi beberapa peryaratan tertentu agar pengukuran dapat berjalan dengan baik, dan dapat diandalkan hasilnya. Syarat-syarat tersebut adalah kemampuan normal dan dapat diajak bekerja sama, seumpama jumlah pekerja yang tersedia ditempat kerja yang bersangkutan banyak maka jika kemampuan mereka dibandingkan akan terlihat perbandingan perbedaan diantaranya, yaitu dari yang berkemampuan rendah sampai tinggi.
Berdasarkan penyelidikan, distribusi kemampuan pekerja umumnya akan mengikuti seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.2.4. terlihat bahwa orang-orang yang berkemampuan rendah dan berkemampuan tinggi jumlahnya sedikit, sedangkan orang yang berkemampuan rata-rata jumlahnya banyak. Secara statistik distribusi demikian dapat dibuktikan berdistribusi normal atau dapat didekati oleh distribusi normal.
Perlu disimpulkan kembali pada tujuan mengukur waktu yaitu untuk mendapatkan waktu penyelesaian, maka dengan melihat kenyataan kemampuan pekerja seperti ditujukan yang sudah terjadi jelaslah orang yang dicari bukanlah orang yang berkemampuan tinggi atau rendah, karena orang-orang demikian hanya meliputi sebagian kecil saja dari seluruh pekerja yang ada. jadi yang dicari adalah waktu penyelesaian pekerjaan yang secara wajar diperlukan oleh pekerja normal, dan ini adalah orang-orang yang berkemampuan rata-rata (Sutalaksana, 1979).
Dengan demikian pengukur harus mencari operator yang memenuhi hal tersebut:
Sudah diketahui disamping itu operator yang dipilih adalah orang yang pada saat pengukuran dilakukan mau bekerja secara wajar. walau operator yang bersangkutan sehari-hari dikenal memenuhi syarat pertama tadi bukan mustahil dia bekerja tidak wajar ketika pengukuran dilakukan karena alasan tertentu. biasanya jika operator tersebut memiliki kecurigaan terhadap maksud-maksud pengukuran, misalnya dianggap untuk hal-hal yang merugikan dirinya atau pekerjaan lain, dia akan bekerja lamban. Sebaliknya mungkin saja dia bekerja dengan kecepatan lebih karena menginginkan hasil yang banyak untuk mendapatkan pujian. Selain itu operatornya harus dapat bekerja secara wajar tanpa canggung walaupun dirinya sedang diukur dan pengukuran berada didekatnya.
Penjelasan tentang maksud baik pengukuran serta tentang operator sebaiknya bersikap ketika sedang diukur, perlu diberikan dahulu. dan operator pun harus mengerti dan menyadari sepenuhnya. inilah yang dimaksud bahwa operator harus dapat diajak bekerja sama. Sebuah pelaksaannya, jika pengukur tidak mengenal pekerja-pekerja yang ada, untuk mendapatkan operator yang akan diukur, dia dapat mencari dengan mendapatkan petunjuk dari kepala-kepala regu, kepala pabrik atau pejabat-pejabat lain yang telah mengenal baik para pekerja. data tentang hasil-hasil kerja para pekerja dalam catatan-catatan ditempat kerja juga dapat membantu pekerjaan ini.
2.2.5. Melatih Operator
Operator yang baik telah didapat, kadang-kadang masih diperlukan adalah bagi operator tersebut terutama jika kondisi dan cara kerja yang dipakai tidak sama dengan yang biasa dijalankan operator, hal ini terjadi jika pada saat penelitian pendahuluan kondisi kerja atau cara kerja sesudah mengalami perubahan. dalam keadaan ini operator harus dilatih terlebih dahulu karena sebelum diukur operator harus terbiasa dengan kondisi dan cara kerja yang telah ditetapkan (dan telah dibakukan) itu. Harap di ingat bahwa yang dicari adalah waktu penyelesaian pekerjaan yang didapat dari suatu peyelesaian pekerjaan yang didapat dari suatu penyelesaian wajar dan bukan penyelesaian dari orang yang bekerja kaku dengan berbagai kesalahan. gambar 2.2.5. menunjukan kurva pengembangan penguasaan pekerjaan oleh operator sejak mulai mengenalnya sampai terbiasa.
Lengkungan dikenal sebagai lengkungan belajar (learning kurve). operator, baru dapat diukur bila sudah berada pada tingkat penguasaan maksimum yang pada kurva ditunjukan oleh garis stabil yang mendatar, dimana biasanya tercemin pada gerakan-gerakan yang halus (tidak kaku), berirama, dan tanpa banyak melakukan perencanaan-perencanaan gerakan (Sutalaksana, 1979).
2.2.6. Mengurai Pekerjaan Atas Elemen Pekerjaan
Mengurai pekerjaan dipecah menjadi elemen pekerjaan, yang merupakan bagian dari pekerjaan yang bersangkutan. elemen-elemen inilah yang diukur waktunya. waktu siklusnya jumlah dari waktu setiap elemen ini. waktu siklus adalah waktu penyelesaian satu satuan produksi sejak bahan baku mulai diproses di tempat kerja yang bersangkutan. misalnya waktu yang dibutuhkan untuk merakit ballpen adalah waktu yang dibutuhkan untuk menggabungkan bagian bawah ballpen, pegas, isi dan bagian atasnya sehingga merupakan suatu ballpen yang lengkap. gerakan-gerakan menggabungkan bagian bawah, pegas dan seterusnya dapat merupakan elemen-elemen pekerjaan, jumlah dari waktu gerakan-gerakan ini adalah waktu siklus perakitan ballpen.
Namun satu siklus tidak harus berarti waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu produk sehingga menjadi barang jadi seperti ballpen tadi yang sudah dipakai. jika pekerjaan merakit ballpen diserahkan kepada dua orang dimana orang yang pertama menggabungkan bagian bawah, pegas dan isi, dan orang kedua menggabungkan bagian atas kebagian lainnya yang telah diselesaikan oleh orang pertama, dan bila setiap pekerja dianggap dua stasiun kerja yang berbeda. beberapa alasan yang menyebabkan pentingya melakukan penguraian pekerjaan atas elemen-elemen. pertama untuk menjelaskan catatan tentang tata cara kerja yang dibakukan. pada langkah kedua diatas telah dikemukan bagaimana kondisi dan cara kerja yang telah dianggap baik dibakukan, yaitu menyatakan secara tertulis untuk kemudian digunakan sebagai pegangan sebelum, pada saat-saat, dan sesudah pengukuran waktu. salah satu cara membakukan cara kerja adalah dengan membakukan pekerjaan berdasarkan elemen-elemenya.
Kedua adalah untuk memungkinkan melakukan penyesuaian bagi setiap elemen-elemen keterampilan bekerjanya operator belum tentu sama untuk semua bagian dari gerakan-gerakan kerjanya, sebab ketiga melakukan pembagian kerja menjadi elemen-elemen pekerjaan adalah untuk memudahkan mengamati terjadinya elemen yang tidak baku yang mungkin saja dilakukan pekerja. elemen demikian bisa diterima jika memang harus terjadi, misalnya gerakan-gerakan yang dilakukan tidak pada setiap siklus secara berkala seperti memeriksa ukuran atau pada setiap produk kesepuluh yang dihasilkan. sebaliknya elemen demikian harus dibuang dari pengamatan jika terjadinya semata-mata Karena penyimpangan dari elemen-elemen baik tanpa alasan baik disadari atau tidak oleh operator.
Alasan keempat adalah untuk memungkinkan dikembangkan data waktu standart atau tempat kerja yang bersangkutan. jika ini yang merupakan sebab maka pembagian pekerjaan atas elemen-elemennya harus mengikuti aturan khusus. jelaslah sekarang mengapa perlu melakukan penguraian elemen-elemen dari suatu pekerjaan yang akan diukur waktunya. walaupun demikian ketentuan ini tidak bersifat mutlak, artinya jika alasan-alasan diatas dianggap tidak penting atau dirasakan tidak akan terjadi maka langkah ini tidak perlu dilakukan. dengan lain perkataan yang diukur waktunya adalah siklusnya (bukan elemen-elemennya). pengukuran demikian disebut pengukuran keseluruhan. sedangkan pengukuran demikian adalah bila pengukuran dilakukan terhadap setiap elemen-elemen pekerjaan.
Sehubungan dengan langkah-langkah kelima ini, ada beberapa pedoman penguraian pekerjaan atas elemen-elemen, yaitu:
1. Sesuai dengan ketelitian yang diiinginkan, uraikan pekerjaan menjadi elemen-elemennya seterperinci mungkin, tetapi masih dapat diamati oleh indera pengukur dan dapat direkam waktunya oleh jam henti yang digunakannya.
2. Untuk memudahkan, elemen-elemen pekerjaan hendaknya berupa satu atau beberapa elemen gerakan misalnya seperti yang dikembangkan oleh gilbreth.
3. Jangan sampai ada elemen yang tertinggal, jumlah dari semua elemen harus tepat sama dengan satu pekerjaan yang bersangkutan.
4. Elemen yang satu hendaknya dipisahkan dari elemen yang lain secara jelas. Batas-batas diantaranya harus dapat dengan mudah diamati agar tidak ada keragu-raguan dalam menentukan bagaimana suatu elemen berakhir dan bila mana elemen berikutnya bermula. Kadang-kadang, disamping mata, telingapun dapat digunakan untuk mengetahui perpindahan elemen terutama jika perpindahan tersebut menimbulkan bunyi (Sutalaksana, 1979).
2.2.7 Menyiapkan Alat-alat Pengukuran
Setelah kelima langkah diatas dijalankan dengan baik, tibalah sekarang pada langkah terakhir sebelum melakukan pengukuran yaitu menyiapkan alat-alat yang diperlukan. Alat-alat tersebut adalah (Sutalaksana, 1979):
- Jam henti
- Lembaran-lembaran pengamatan
- Pena atau pensil
- Papan pengamatan
2.3. Melakukan Pengukuran Waktu
Pengukuran waktu adalah pekerjaan mengamati dan mencatat waktu-waktu kerjanya baik setiap elemen ataupun siklus dengan menggunakan alat-alat yang telah disiapkan diatas. Bila operator telah siap didepan mesin atau ditempat kerja lain yang waktu kerjanya akan diukur, maka pengukuran memilih posisi tmpat dia berdiri mengamati dan mencatat. Posisi ini hendaknya sedemikian rupa sehingga operator tidak tenganggu gerakan-gerakannya ataupun merasa canggung karena terlampau merasa diamati, misalnya juga pengukur berdiri didepan operator. Posisi ini pun hendaknya memudahkan pengukur mengamati jalannya pekerjaan sehingga dapat mengikuti dengan baik saat-saat suatu siklus atau elemen bermula dan berakhir. Umumnya posisi tegak menyimpang dibelakang operator sejauh 1,5 meter merupakan tempat yang baik. Berikut ini adalah hal-hal yang dikerjakan selama pengukuran berlangsung.
Hal pertama yang dilakukan adalah pengukuran pendahuluan. Tujuan melakukan pengukuran pendahuluan ialah untuk mengetahui berapa kali pengukuran harus dilakukan untuk tingkat-tingkat ketelitian dan keyakinan yang di inginkan. Seperti telah dikemukan, tingkat-tingkat ketelitian dan keyakinan ini ditetapkan pada saat menjalankan langkah penetapan tujuan pengukuran.
Untuk mengetahui beberapa kali pengukuran harus dilakukan, diperlukan beberapa tahap pengukuran pendahuluan seperti dijelaskan berikut ini.
Pengukuran pendahuluan pertama dilakukan dengan melakukan beberapa buah pengukuran yang banyaknya dtentukan oleh pengukur. Biasanya sepuluh kali atau lebih. Setelah pengukuran tahap pertama ini dijalankan, tiga hal harus mengikutinya yaitu menguji keseragaman data, menghitung jumlah pengukuran yang diperlukan, dan bila jumlah belum mencukupi dilanjutkan dengan pengukuran pendahuluan kedua. Jika tahap kedua selesai maka dilakukan lagi ketiga hal yang sama seperti tadi dimana bila perlu dilanjutkan dengan pengukuran pendahuluan tahap kedua. Begitu seterusnya sampai jumlah keseluruhan pengukuran mencukupi untuk tingkat-tingkat ketelitian dan keyakinan yang dikehendaki. Istilah pengukuran pendahuluan terus digunakan selama jumlah pegukuran yang telah dilakukan pada tahap pengukuran belum mencukupi(Sutalaksana, 1979).
2.3.1. Tingkat Ketelitian, Tingkat Keyakinan dan Pengujian Keseragaman Data.
Berbicara tentang tingkat ketelitian, dan pengujian keseragaman data, sebenarnya adalah pembicaraan tentang pengertian statistik. Karena untuk memahaminya secara mendalam diperlukan beberapa pengetahuan statistik. Tetapi sunguhpun demikian apa yang dikemukakan pada pasal ini adalah pembahasan kearah pengertian yang diperlukan dengan cara-cara sederhana (Sutalaksana, 1979).
2.3.2. Tingkat Ketelitian dan Tingkat Keyakinan
Yang dicari dengan melakukan pengukuran-pengukuran ini adalah waktu yang sebenarnya dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Karena waktu penyelesaian ini tidak pernah diketahui sebelumnya maka harus diadakan pengukuran-pengukuran. Yang ideal tentunya dilakukan pengukuran-pengukuran yang sangat banyak (sampai tak terhingga kali, misalnya), karena dengan demikian diperoleh jawaban yang pasti. Tetapi hal ini jelas tidak mungkin karena keterbatasan waktu, tenaga dan tentunya biaya. Namun sebaliknya jika tidak dilakukan beberapa kali pengukuran saja, dapat diduga hasilnya sangat kasar. Sehingga yang diperlukan adalah jumlah pengukuran yang tidak membebankan waktu, tenaga dan biaya yang besar tetapi hasilnya tidak dapat dipercaya. Jadi walaupun jumlah pengukuran tidak berjuta kali, tetapi hasilnya tidak data dipercaya. Jadi walaupun jumlah pengukuran tidak berjuta kali, tetapi jelas tidak hanya beberapa kali saja.
Dengan tidak dilakukannya pengkuran yang banyak sekali ini, pengukur akan kehilangan sebagian kepastia akan ketetapan/rata-rata waktu penyesuaian yang sebenarnya. Hal ini harus disadari oleh pengukur, Tingkat Ketelitian dan Tingkat Keyakinan adalah pencerminan tingkat kepastian yang diinginkan oleh pengukur setelah tidak akan melakukan pengukur yang sangat banyak.
Tingkat ketelitian menunjukan peyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam persen (dari waktu penyelesaian sebenarnya, yang seharusnya dicari). Sedangkan tingkat keyakinan menunjukan besarnya keyakinan pengukur bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian tadi. Sehingga dinyatakan dalam persen. Jadi tingkat ketelitian 10% dan tingkat keyakianan 95% memberi arti bahwa pengukur membolehkan rata-rata hasil pengukurannya menyimpang sejauhnya 10% dari rata-rata sebenarnya, dan kemudian berhasil mendapatkan hal ini adalah 95%. Dengan lain perkataan jika pengukur sampai memperoleh rata-rata pengukuran yang menyimpang lebih dari 10% seharusnya, hal ini di bolehkan terjadinya hanya dengan kemungkinan 5% (=100%-95%) (Sutalaksana, 1979).
2.3.3 Pengujian Kesegaran Data
Sekarang akan kita lihat beberapa hal yang berhubungan dengan pengujian keseragaman data. secara teoritis apa yang dilakukan dalam pengujian ini adalah berdasarkan teori–teori statistik tentang peta-peta kontrol yang biasanya digunakan dalam melakukan pengendalian kualitas di pabrik atau tempat kerja yang lain.
Di pasal 2.2.3. telah dikemukan bahwa satu langkah yang dilakukan sebelum dilakukan pengukuran adalah merancang suatu sistem kerja yang baik, yang terdiri dari kondisi kerja dan cara kerja yang baik. Jadi yang dihadapi adalah suatu sistem yang dikerjakan sudah ada maka sistem ini dipelajari untuk kemudian diperbaiki. Jika sistemnya belum ada maka yang dilakukan adalah merancang suatu yang baru yang baik. terhadap suatu sistem yang baik inilah pengukuran waktu di lakukan, dan dari sistem inilah waktu penyelesaian pekerjaan dicari. walau selanjutnya pembakuan sistem yang dipandang baik ini dilakukan., seringkali pengukur, sebagaimana halnya juga operator, tidak mengetahui terjadinya perubahan-perubahan pada sistem kerja. Memang perubahan adalah suatu yang wajar karena bagaimanapun juga sistem kerja tidak dapat dipertahankan tetap terus menerus pada keadaan yang tetap sama. Keadaan system yang sellu berubah dapat diterima, asalkan perubahannya adalah yang memang sepantasnya terjadi. akibatnya waktu penyelesaian yang dihasilkan sistem selalu berubah-ubah namun juga mesti dalam batas kewajaran. Dengan lain perkataan harus seragam.
Tugas mengukur adalah mendapatkan data yang seragam ini. karena ketidakseragaman dapat datang tanpa disadari maka diperlukan suatu alat yang dapat “mendeteksi”. Batas-batas kontrol yang dibentuk dari data merupakan batas serangam tidaknya data. data yang dikatakan seragam, yaitu berasal dari sistem sebab yang sama, bila berada diantara kedua batas kontrol, dan tidak seragam, yaitu berasal dari sistem bab yang berbeda, jika berada diluar batas kontrol.
Yang diperhatikan dalam contoh pengujian keseragaman diatas adalah data yang barada didalam batas-batas kontrol, karenanya semua data yang dimasukan dalam perhitungan-perhitungan selanjutnya. Jika ada yang terletak diluar batas kontrol, apa yang dilakukan (Sutalaksana, 1979).
2.4. Melakukan Perhitungan Waktu baku
Jika pengukuran-pengukuran telah selesai, yaitu semua data yang didapat dimiliki keseragaman yang dikehendaki, dan jumlahnya telah memenuhi tingkat-tingkat ketelitian dan keyakinan yang diinginkan, maka selesailah kegiatan pengukuran waktu, langkah selanjutnya adalah mengolah data tersebut sehingga memberikan waktu baku. Cara untuk mendapatkan waktu baku dari data yang terkumpul itu adalah sebagai berikut:
dimana p adalah faktor penyesuaian. Faktor ini diperhitungkan jika pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dengan kecepatan tidak wajar, sehingga hasil perhitungan waktu perlu disesuaikan atau dinormalkan dulu untuk mendapatkan waktu siklus rata-rata yang wajar. Jika pekerja bekerja dengan wajar, maka faktor penyesuaian p sama dengan 1, artinya waktu siklus rata-rata sudah normal. Jika bekerjanya terlalu lambat maka untuk menormalkannya pengukur harus memberi harga p1, dan sebaliknya p1, jika dianggap bekerja cepat.
Karena hal-hal mengenai faktor penyesuaian memerlukan pembahsan yan agak panjang maka pembicaran tentang cara menentukan kita tunda dahulu sampai bab ini selesai.
c. Hitung waktu baku:
Akhirnya setelah perhitungan diatas selesai, waktu baku bagi penyelsaian pekerjaan kita dapatkan dengan:
Dimana 1 adalah kelonggaran atau allowance yang diberikan kepada pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya disamping waktu normal. Kelonggaran ini berikan untuk hal-hal seperti kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatique, dan gangguan-gangguan yang mungkin terjadi yang tidak dapat dihindarkan oleh pekerja. Umumnya kelonggaran dinyatakan dalam persen dari normal (Sutalaksana, 1979).
2.4.1 Penyesuaian Dan Kelonggaran.
Pada bab sebelumnya dikemukakan bahwa setelah waktu siklus Ws didapat, waktu baku penyelesaian suatu pekerjaan Wb diperoleh dengan telebih dahulu menghitung waktu normal Wn dengan rumus sebagai berikut:
Pada bab sebelumnya dikemukakan bahwa setelah waktu siklus Ws didapat, waktu baku penyelesaian suatu pekerjaan Wb diperoleh dengan telebih dahulu menghitung waktu normal Wn dengan rumus sebagai berikut:
Pada pembahasan tersebut dikatakan bahwa p adalah dan I adalah kelonggaran yang diberikan. Bab ini akan secara khusus mengemukakan hal itu berupa penjelasan mengapa perlu diperhitungkan dan bagaimana menghitungnya.
2.4.2. Melakukan Penyesuaian
Setelah pengukuran berlangsung, pengukur berlangsung harus mangamati kewajaran kerja yang ditunjukan operator. Ketidakwajaran ada maka pengukur harus mengetahuinya dan menilai seberapa jauh hal ini terjadi. Penilaian perlu diadakan karena berdasarkan inilah penyesuaian dilakukan. Jadi jika pengukur mendapatkan harga rata-rata siklus atau elemen yang diketahui diselesaikan dengan kecepatan wajar oleh operator, maka agar harga rata-rata tersebut menjadi wajar, pengukur harus menormalkan dengan melakukan penyesuaian.
Biasanya penyesuaian dilakukan dengan mengalikan waktu siklus rata-rata atau waktu elemen rata-rata dengan suatu harga p yang disebut faktor penyesuaian. Besarnya harga p tentunya sedemikian rupa sehingga hasil perkalian yang diperoleh mencerminkan waktu yang sewajarnya atau yang normal. Bila pengukur berpedapat bahwa operator bekerja diatas normal (terlalu cepat) maka harga p nya akan lebih besar dari satu (p1), sebaliknya jika operator dipandang bekerja dibawah normal maka harga p akan lebih kecil dari satu (p). Seandainya pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dengan wajar maka harga p nya sama dengan satu (p=1).
2.4.3. Konsep Tentang Bekerja Wajar
Setelah dikemukakan diatas bahwa ketidakwajaran harus diwajarkan untuk mendapatkan waktu normal. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana yang disebut wajar itu. dengan “standar” apa pengukur menilai wajar tidaknya kerja seorang operator. biasanya, melalui pengamatan seorang pengukur dapat melihat bagaimana hal tersebut ditunjukan operator. dalam kehidupan sehari-hari pun hal ini sering bisa kita rasakan yaitu, bila disuatu waktu melihat sseorang yang sedang bekerja. dalam waktu yang tidak terlampau lama kita dapat menyatakan, misalnya orang tersebut bekerjanya lambat atau sangat cepat. ini tidak lain berarti kita telah membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain wajar, walupun yang ditlis terakhir tidak terlalu cukup berpengalaman apalagi bila bagi jenis pekerjaan yang sedang diukur. Memang pengalaman banyak menentukan, karena melalui pengalamanlah mata dan indera lain akan terlatih dalam memberikan penilaian. Semakin berpengalaman seorang pengukur, semakin pekalah inderanya dalam melakukan penyesuaian.
Untuk memudahkan pemilihan konsep wajar, seorang pengukur dapat mempelajari bagaimana bekerjanya seorang operator yang diangggap normal itu yaitu: jika seorang operator yang dianggap berpengalaman bekerja tanpa usaha-usaha yang berlebihan sepanjang hari bekerja, menguasai cara kerja yang ditetapkan, dan menunjukan keungguhan dalam menjalankan pekerjaannya.
Disamping konsep-konsep yang dikemukakan oleh International Oganization ini, terdapat juga konsep yang lebig terperinci yaitu yang dikemukakan oleh Lawry Maynard dan Stegemarten melalui cara penyesuaian Wetinghouse. Mereka berpendapat bahwa ada empat faktor yang menyebabkan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja yaitu keterampilan, usaha, kondisi kerja dan konsistensi.
Walaupaun usaha-usaha membakukan konsep bekerja wajar telah dilakukan, namun penyesuaian tetap tampak sebagai suatu yang subyektif. Memang hal inilah yang dipandang sebagai kelemahan pengukuran waktu dilihat secara alamiah. Namun bagaimanapun penyesuaian harus dilakukan karena ketidakwajaran yang menghasilkan ketidaknormalan data merupakan sesuatu hal yang biasa terjadi.Sehubungan dengan faktor penyesuaian dikembangkanlah cara untuk mendapatkan harga p termasuk cara-cara yang berusaha se-obyektif mungkin.
2.4.4 Beberapa Cara Menentukan Faktor Penyesuaian
Cara pertama adalah cara persentase yang merupakan cara yang paling awal digunakan dalam melakukan penyesuaian. Disini besarnya factor penyesuaian sepenuhnya ditentukan oleh pengukur melalui pengamatannya selama melakukan pengukuran. Jadi sesuai dengan pengukuran dia menentukan harga p yang menurut pendapatnya akan menghasilkan waktu normal bila harga ini dikalikan dengan waktu siklus. misalnya sipengukur berpendapat bahwa p = 110% jika waktu siklusnya telah terhitung sama dengan 14,6 menit, maka waktu normalnya: Wn = 14,6 x 1,1 = 16,6 menit. terlihat bahwa penyesuaian diselesaikan dengan cara yang sangat sederhana. Memang cara ini merupakan cara yang paling mudah dan sederhana, namun segera pula terlihat adanya kekurangan ketelitian sebagai akibat dari “kasarnya” cara penilaian. Bertolak dari kelemahan ini dikembangkanlah cara-cara lain yang dipandang sebagai cara yang lebih obejektif.
Cara-cara ini umumnya memberikan “patokan” yang dimaksudkan untuk mengarahkan penilaian pengukur terhadap kerja operator. sehingga akan dikemukakan beberapa cara tersebut yaitu cara Shumard, Westinghouse, dan objektif. cara Shumard memberikan patokan-patokan penilaian melalui kelas-kelas performance kerja dimana setiap kelas mempunyai nilai sendiri-sendiri, berikut adalah table penyesuaian menurut shumard:
Disini pengukur diberi patokan untuk menilai performance kerja operator menurut kelas-kelas Superfast +, Fast, Fast-, Exellent dan seterusnya.
Seorang yang dipandang bekerja normal diberi nilai 60, dengan nama performance kerja yang lain dibandingkan untuk menghitung faktor penyesuaian. Bila performance seorang operator dinilai excellent maka dia mandapat nilai 80, dan karena faktor penyesuaian adalah: P = 80/60 = 1,33
Jika waktu siklus rata-rata sama dengan 276,4 detik, maka waktu normalnya: Wn = 276,4 x 1,33 = 367,6 detik
Berbeda dengan cara Shumard diatas, cara Westinghouse mengarahkan penilaian pada 4 faktor yang dianggap menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja yaitu Keterampilan, Usaha Kondisi kerja dan konsistensi. Setiap faktor terbagi dalam kelas-kelas dengan nilainya masing-masing.
Keterampilan atau skill didefinisikan sebagai kemampuan mengikuti cara kerja yang ditetapkan. Latihan dapat meningkatkan keterampilan, tetapi hanya sampai ketingkat tertentu saja, tingkat mana merupakan kemampuan maksimal yang dapat diberikan pekerja yang bersangkutan. Secara psikologis keterampilan merpakan aptitude untuk pekerjaan yang bersangkutan. Keterampilan dapat juga menurun yaitu bila telah terlampau lama tidak menangani pekerjaan tersebut, atau karena sebab-sebab lain seperti karena kesehatan yang terganggu, rasa fatique yang berlebihan, pengaruh lingkungan sosial dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan kondisi kerja atau Condition pada cara Westinghouse adalah kondisi fisik lingkungannya seperti keadaan pencahayaan, temperatur dan kebisingan ruangan. Bila tiga faktor lainnya yaitu keterampilan, usaha dan konsistensi merupakan apa yang dicerminkan operator, maka kondisi kerja merupakan sesuatu diluar operator yang diterima apa adanya oleh operator tanpa banyak kemampuan merubahnya. Oleh sebab itu faktor kondisi sering disebut sebagai faktor manajemen, karena pihak inilah yang dapat dan berwenang merubah atau memperbaikinya.
2.5. Kelonggaran
Sebuah praktek yang dilakukan banyak terjadi penentuan waktu baku dilakukan hanya dengan menjalankan beberapa kali pengukuran dan menghitung rata-ratanya. Pada bab lalu telah ditunjukan bagaimana langkah-langkah sebelum dari pada saat-saat pengukuran seharusnya dilakukan. Selain data yang seragam, jumlah pengukuran yang cukup dan penyesuaian satu hal lain yang kerapkali terlupakan adalah menambah kelonggaran atas normal yang telah didapatkan. kelonggaran diberikan untuk tiga hal yaitu untuk kebutuhan pribadi menghilangkan rasa fatique, dan hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan. Ketiganya ini merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja, dan yang selama pengukuran tidak diamati, diukur, dicatat ataupun dihitung. Karena sesuai pengukuran dan setelah mendapatkan waktu normal, kelonggaran perlu ditambahkan.
2.5.2. Kelonggaran Untuk Kebutuhan Pribadi
Yang termasuk kedalam kebutuhan pribadi disini adalah, hal-hal seperti minum sekadarnya untuk menghilangkan rasa haus, sekamar kecil, bercakap-cakap dengan teman sekerja sekedar untuk menghilangkan ketegangan ataupun kejemuan dalam kerja. kebutuhan-kebutuhan ini jelas terlihat sebaai sesuatu yang mutlak, tidak bisamisalnya, seseorang diharuskan terus bekerja dengan rasa dahaga, atau melarang pekerja untuk sama sekali tidak bercakap-cakap sepanjang jam-jam kerja. Larangan demikian tidak saja merugikan pekerja (karena merupakan tuntutan psikologis dan fisiologis yang wajar) tetapi juga merugikan perusahaan Karena dengan kondisi demikian pekerja tidak akan dapat bekerja dengan baik bahkan hampir dapat dipastikan produktivitasnya menurun.
Besarnya kelonggaran yang diberikan untuk kebutuhan pribadi seperti itu berbeda-beda dari satu pekerjaan lainnya karena setiap pekerjaan mempunyai karakteristik sendiri-sendiri dengan “tuntutan” yang berbeda. Penelitian yang khusus perlu dilakukan untuk menentukan besarnya kelonggaran ini secara tepat seperti dengan sampling pekerjaan ataupun secara fisiolgis. Berdasarkan penelitian ternyata besarnya kelonggaran ini bagi pekerja pria berbeda dari pekerja wanita: misanya untuk pekerjaan-pekerjaan ringan pada kondisi-kondisi kerja normal pria memerlukan 2-2,5 dan wanita 5% (persentase ini adalah dari waktu normal).
2.5.3. Kelonggaran Untuk Menghilangkan Rasa Fatique
Rasa fatique tercemin antara lain dari menurunnya hasil produksi baik jumlah maupaun kwalitas. Karenanya salah satu cara untuk menentukan besarnya kelonggaran ini adalah dengan melakukan pengamatan sepanjang hari dan mencatat pada saat-saat mana menurunnya hasil produksi disebabkan oleh timbulnya rasa fatique karena masih banyak kemungkinan lain yang dapat menyebabkannya.
Jika rasa fatique telah datang dan pekerja harus bekerja untuk menghasilkan performance normalnya, maka usaha yang dikeluarkan pekerja lebih besar dari normal dan ini akan menambah rasa fatique. bila mana ini berlangsung terus pada akhirnya akan terjadi fatique total yaitu jika anggota badan yang bersangkutan sudah tidak dapat melakukan gerakan kerja sama sekali walaupun sangat dikehendaki. Hal demikian jarang terjadi karena berdasarkan pengalamannya pekerja dapat mengatur gerakan kecepatan kerjanya sedemiian rupa, sehingga lambatnya gerakan-gerakan kerja ditujukan untuk menghilangkan rasa fatique.
2.5.4. Kelonggaran Untuk Hambatan-hambatan Tak Terhindarkan
Dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerja tidak akan lepas dari berbagai “hambatan”. Ada hambatan yang dapat dihindarkan seperti mengobrol yang berlebihan dan menganggur dengan sengaja ada pula hambatan yang tidak dapat dihindarkan karena berada diluar kekuasaan pekerja untuk mengendalikannya. Bagi hambatan yang pertama jelas tidak ada pilihan selain menghilangkannya, sedangkan bagi yang teakhir walupun harus diusaakan serendah mungkin, hambatan akan tetap ada dan karenanya harus diperhitungkan dalam perhitungan waktu baku.
Beberapa contoh yang termasuk kedalam hambatan tak terhindarkan adalah:
a) menerima atau meminta petunjuk kepada pengawas
b) melakukan penyesuaian-penyesuaian mesin
c) memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat seperti mengganti alat potong yang patah, memasang kembali ban yang lepas dan sebagainya
d) Mengasah peralatan potong
e) Mengambil alat-alat khusus atau bahan-bahan khusus atau bahan-bahan khusus dari gudang
f) Hambatan-hambatan karena kesalahan pemakai ataupun bahan
g) Mesin berhenti Karena matinya aliran listrik
Besarnya hambatan untuk kejadian-kejadian seperti itu sangat bervariasi dari suatu pekerjaan lain bahkan satu stasiun kerja ke stasiun kerja lain karena banyaknya penyebab seperti mesin, kondisi mesin, prosedur kerja, ketelitian suplai alat dan bahan dan sebagainya. Salah satu cara yang baik yang biasanya digunakan untuk menentukan besarnya kelonggaran bagi hambatan tak terhindarkan adalah dengan melakukan sampling pekerjaan.
2.5.5. Menyertakan Kelonggaran dalam Perhitungan Waktu Baku
Langkah pertama adalah menentukan besarnya kelonggaran untuk ketiga hal diatas yaitu untuk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatique dan hambatan yang tidak terhindarkan. Dan yang kedua memperhatikan kondisi-kondisi yang sesuai dengan pekerjaan yang bersangkutan. untuk yang ketigaa dapat diperoleh melalui pengukuran khusus seperti sampling pekerjaan. Kesemuanya, yang biasanya masing-masing dinyatakan dalam presentase dijumlahkan, dan kemudian mengalikan jumlah ini dengan waktu normal yang telah dihitung sebelumnya.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Sahabat. Jangan malu untuk menulis komentar. Pembaca yang baik akan selalu berkomentar Positif. Semoga komentar anda dapat memberi inspirasi bagi penulis. Dimohon untuk tidak berkomentar dengan Kata-kata yang dianggap tidak sopan. "Komentar Akan di Moderasi" Terimakasih dan Mohon Maaf Jika Komentar Lambat di Respon... Tinggalkan jejakmu Dibawah ini: